Iuran dari Cinta: Perjuangan Orang Tua Menjaga Pusat Layanan Autis Batam Tetap Hidup

BATAM, iNewsBatam.id - Di sebuah ruangan sederhana di sudut Kota Batam, suara tawa kecil dan lantunan musik terapi masih terdengar saban hari.
Belasan anak berkebutuhan khusus tampak tekun mengikuti sesi demi sesi terapi di Pusat Layanan Autis (PLA) Batam, yang terletak di kawasan Baloi Permai, Batam Kota.
Tempat ini bukan sekadar bangunan, melainkan ruang harapan yang terus dijaga hidup oleh tangan-tangan para orang tua.
Namun di balik rutinitas harian yang tampak stabil itu, ada perjuangan sunyi yang nyaris tak terdengar. Sudah tiga tahun terakhir, PLA Batam tak lagi mendapat kucuran dana dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.
Operasional pusat layanan yang menjadi satu-satunya milik pemerintah di Kepri ini, praktis bertumpu pada iuran sukarela para orang tua.
“Sejak bantuan dana dihentikan, kami sepakat patungan Rp100 ribu per bulan. Kalau tidak, anak-anak ini tidak akan bisa terapi lagi,” kata Rana, seorang ibu yang anaknya rutin menjalani terapi di PLA, Jumat (4/7/2025).
Uang iuran itu dipakai untuk menutupi kebutuhan paling dasar: membayar tagihan air, menyediakan kertas tulis, les musik, dan upah kebersihan. Tak jarang, bila ada kekurangan, para orang tua bahu-membahu menutupi bersama.
Dari awalnya tiga orang terapis, kini hanya tersisa satu. Dua lainnya sudah lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dan satu lagi sedang menanti hasil.
“Kalau dia juga lulus dan ditempatkan di luar, kami habis. Tidak ada lagi terapis,” ujar Rana dengan nada getir.
Tenaga yang tersisa semakin menipis, sementara kebutuhan terus berjalan. Lima staf PLA Batam memang mengikuti seleksi PPPK. Harapan para orang tua agar mereka tetap bertugas di PLA pupus, karena setelah dinyatakan lulus, semuanya ditempatkan di luar Batam.
Konsekuensinya, jumlah anak yang bisa dilayani juga menyusut tajam. Dari semula 60 anak, kini hanya tersisa 15.
“Kalau terapi di luar bisa sampai Rp100 ribu per jam. Belum tentu cukup satu sesi. Banyak dari kami tidak mampu,” ucap Rana.
Mereka bukan tak ingin lebih. Mereka hanya mempertahankan apa yang tersisa.
Di sisi lain, pemerintah mengaku masih merumuskan pijakan hukum kelembagaan PLA. Kepala Bidang Pendidikan Khusus Dinas Pendidikan Kepri, Siti Hidayati Roma, menjelaskan bahwa PLA Batam memang belum memiliki struktur organisasi resmi.
“PLA masih dalam proses. Kita sedang usulkan peraturan gubernur untuk legalitasnya. Nanti bisa masuk ke SLB atau bidang pendidikan khusus,” kata Siti saat dihubungi via telepon.
Terkait minimnya terapis, Siti menjelaskan bahwa para staf yang selama ini mengabdi belum memiliki sertifikasi resmi.
“Mereka memang sudah terbiasa menangani anak berkebutuhan khusus. Tapi secara formal, belum memenuhi syarat. Itu juga bukan formasi dari Disdik, melainkan wewenang Dinas Kesehatan,” ujarnya.
Siti memastikan, pemerintah tengah menyiapkan regulasi yang ditargetkan rampung tahun ini. Jika status hukum PLA sudah ditetapkan, maka pembiayaan operasional bisa dialokasikan secara resmi melalui APBD.
“Kami ingin layanan ini diperkuat secara struktural dan finansial. Harapannya tahun ini selesai, dan pembiayaan bisa lebih terjamin,” kata dia.
Namun bagi orang tua seperti Rana, waktu terus berjalan. Setiap bulan, iuran harus terkumpul. Setiap hari, satu-satunya terapis yang tersisa harus membagi tenaga dan waktunya demi 15 anak yang masih bertahan. Mereka tidak bisa menunggu terlalu lama.
“PLA ini satu-satunya tempat buat kami. Kalau ini hilang, kami tak tahu lagi harus ke mana,” tutup Rana.
Editor : Gusti Yennosa