DPR Bentuk Panja untuk Selidiki Dugaan Mafia Lahan di Batam, Menteri ATR/BPN Diminta Hadir

JAKARTA, iNewsBatam.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengambil langkah serius dalam menangani dugaan mafia lahan di Pulau Batam. Setelah menggelar rapat dengar pendapat dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat adat Melayu dan pengusaha lokal, Komisi VI DPR RI sepakat membentuk Panja Pengawasan Tata Kelola Kawasan Batam, yang diketuai oleh Andre Rosiade.
Sementara itu, Komisi III DPR turut menyoroti persoalan mafia lahan dari sisi hukum, terutama setelah munculnya kasus perobohan Hotel Purajaya Batam tanpa perintah pengadilan. Hal ini mendorong pembentukan Panja Pengawasan Penegakan Hukum Mafia Tanah, yang dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman. Pembentukan dua Panja DPR ini pun mendapat perhatian dari sejumlah pengamat kebijakan publik.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai bahwa Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid perlu dipanggil oleh kedua Panja untuk mengklarifikasi dugaan mafia lahan serta tata kelola pertanahan di Batam.
Menurutnya, pemanggilan Menteri ATR/BPN sangat penting guna menjelaskan dokumen serta sejarah kepemilikan lahan.
"Panggil saja, nanti bisa ditanya, izin lahannya milik siapa? Siapa yang mengeluarkan izin? Masalahnya, Panja Komisi III dan VI berani atau tidak memanggil Menteri ATR/BPN?" ujar Agus.
Ia juga menekankan bahwa Menteri ATR/BPN seharusnya memahami persoalan mafia lahan, terutama di Batam. Selain itu, DPR memiliki kewenangan untuk memanggil siapa pun demi melengkapi informasi yang diperlukan.
"Sebetulnya Menteri ATR/BPN tahu siapa pemilik izin lahan itu, tapi pasti ada kekhawatiran juga soal ini," tambahnya.
Senada dengan Agus, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menegaskan bahwa kehadiran Menteri ATR/BPN dalam Panja bukan sekadar opsi, melainkan keharusan.
Menurutnya, ATR/BPN memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) terkait pertanahan, termasuk penerbitan sertifikat tanah sebagai produk hukum.
"Kalau menyangkut konflik atau mafia lahan, dia harus dipanggil. Terutama untuk mengetahui bagaimana mekanisme prosedur dan asal mula persoalan ini," tegas Trubus.
Ia juga menyarankan agar DPR tidak hanya memanggil Menteri ATR/BPN saat ini, tetapi juga menteri yang menjabat saat kasus terjadi, guna memperoleh gambaran yang lebih lengkap.
"Menteri yang dulu dipanggil untuk menjelaskan dokumen historis, sedangkan Menteri yang sekarang dimintai keterangan terkait dinamika terbaru di Batam," ujarnya.
Lebih lanjut, Trubus menilai pemanggilan Menteri ATR/BPN diperlukan untuk mengklarifikasi dugaan miskoordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, atau bahkan adanya unsur kesengajaan dalam menciptakan konflik lahan.
Ia mencontohkan kasus 263 sertifikat tanah di Pagar Laut, Tangerang, yang diduga melibatkan permainan di kantor pertanahan setempat tanpa sepengetahuan menteri di pusat.
"Kalau pemerintah pusat tidak tahu, ini mengindikasikan bahwa ada pihak yang bermain sendiri, atau sengaja menciptakan konflik demi keuntungan tertentu," ungkap Trubus.
Ia menegaskan, pemanggilan Menteri ATR/BPN menjadi langkah penting untuk mengungkap duduk perkara dugaan mafia lahan di Batam.
"Karena itu, pemanggilan Menteri ATR/BPN wajib dilakukan untuk menjelaskan akar masalah ini," pungkasnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta