SETIAP manusia pasti akan mati. Ketika kematian tiba, harta dan kekayaan yang dimiliki tidak akan bisa dibawa. Hanya amal dan ibadahlah yang akan menyertai manusia di alam kubur.
Pada suatu masa, ada seorang konglomerat yang kaya raya. Ia memiliki banyak harta dan kekayaan, tetapi ia tidak memiliki anak. Oleh karena itu, ia menulis surat wasiat. Dalam surat wasiat tersebut, ia berpesan bahwa barang siapa yang mau menemaninya di dalam kubur selama 40 hari setelah ia mati, maka akan diberi warisan separuh dari hartanya.
Konglomerat itu bertanya kepada anak-anaknya, apakah mereka sanggup menemaninya di dalam kubur. Namun, anak-anaknya tidak sanggup karena mereka merasa takut. Konglomerat itu kemudian bertanya kepada adik-adiknya, tetapi mereka juga tidak sanggup.
Akhirnya, konglomerat itu mengumumkan penawarannya ke seluruh negeri. Seorang tukang kayu yang sangat miskin mendengar pengumuman tersebut. Ia bersedia menemani konglomerat di dalam kubur selama 40 hari demi mendapatkan warisan separuh dari hartanya.
Keesokan harinya, konglomerat itu meninggal dunia. Tukang kayu itu ikut turun ke dalam liang lahat bersama jenazah konglomerat.
Setelah tujuh langkah para pengantar jenazah meninggalkan area pemakaman, maka datanglah Malaikat Munkar Nakir ke dalam kubur tersebut. Malaikat Mungkar dan Nakir bertanya kepada tukang kayu, "Apa yang kau lakukan di sini?"
Tukang kayu menjawab, "Aku menemani mayat ini selama 40 hari untuk mendapatkan setengah dari harta warisannya."
Malaikat Mungkar dan Nakir bertanya lagi, "Apa saja harta yang kau miliki?"
Tukang kayu menjawab, "Hartaku cuma Kapak ini saja, untuk mencari rezeki."
Malaikat Mungkar dan Nakir bertanya lagi, "Dari mana kau dapatkan Kapakmu ini?"
Malaikat Mungkar dan Nakir terus bertanya kepada tukang kayu selama 40 hari. Pertanyaan-pertanyaan selalu berkisar tentang Kapak yang dimiliki tukang kayu.
Pada hari terakhir, Malaikat Mungkar dan Nakir bertanya lagi kepada tukang kayu, "Hari ini kami akan kembali bertanya soal Kapakmu ini."
Tukang kayu menjadi ketakutan. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Ia pun berlari keluar dari kubur dan kembali ke dunia.
Besok di hari kedua, mereka datang lagi dan bertanya, "Apa saja yang kau lakukan dengan kapakmu?"
"Aku menebang pohon untuk dijadikan kayu bakar, lalu aku jual ke pasar", jawab tukang kayu.
Di hari ketiga ditanya lagi, "Pohon siapa yang kau tebang dengan Kapakmu ini?"
"Pohon itu tumbuh di hutan belantara, jadi tak ada yang punya", katanya.
Pada hari-hari berikutnya, Malaikat Munkar-Nakir terus datang dan pergi untuk menginterogasi tukang kayu tersebut. Pertanyaan mereka selalu berkisar tentang kapak yang dimiliki tukang kayu.
Pada hari terakhir, yaitu hari ke-40, Malaikat Munkar-Nakir kembali datang menemui tukang kayu. Mereka berkata, "Hari ini kami akan kembali bertanya soal kapakmu."
Sebelum Malaikat Munkar-Nakir sempat melanjutkan pertanyaannya, tukang kayu tersebut segera melarikan diri dari kubur. Dia membuka pintu kubur dan keluar. Ternyata, di luar sudah banyak orang yang menunggunya untuk keluar dari kubur.
Si tukang kayu dengan tergesa-gesa keluar dan lari meninggalkan mereka sambil berteriak, "Kalian ambil saja semua bagian harta warisan ini, karena aku sudah tidak menginginkannya lagi."
Sesampai di rumah, dia berkata kepada istrinya, "Aku sudah tidak menginginkan separuh harta warisan dari mayat itu. Di dunia ini harta yang kumiliki padahal cuma satu kapak ini, tapi selama 40 hari yang ditanyakan dan dipersoalkan oleh Malaikat Munkar-Nakir masih saja seputar kapak ini. Bagaimana jadinya kalau hartaku begitu banyak? Entah berapa lama dan bagaimana aku menjawabnya."
Dalam sebuah hadis sahih disebutkan bagaimana mempertanggungjawabkan soal harta.
Dari Ibnu Mas’ud RA dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, "Tidak akan bergerak tapak kaki anak Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara, yaitu umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan kemana dibelanjakannya, ilmunya sejauh mana diamalkan?" (HR. Turmudzi).
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait