BATAM, iNewsBatam.id - Di penghujung Ramadhan 1445 Hijriah, kaum Muslimin dianjurkan untuk semakin meningkatkan amalan ibadah. Ini wajar, karena pada 10 hari terakhir terdapat malam Lailatul Qadar yang pahalanya berlipat ganda. Wajar pula jika banyak orang merasa sedih saat Ramadhan akan berakhir, karena kesempatan meraih pahala berlimpah itu berkurang.
Namun, tahukah Anda bahwa para sahabat Nabi Muhammad SAW justru diliputi kegundahan di penghujung Ramadhan? Mereka bukannya khawatir tak bisa beribadah lagi, tetapi gundah apakah amalan mereka selama Ramadhan diterima oleh Allah SWT.
Ustadz Budi Ashari menjelaskan, para sahabat dan generasi Salafus Shalih, orang-orang shalih terdahulu, memiliki kekhawatiran ini. Mereka bersungguh-sungguh beribadah namun tetap diliputi keraguan. Sebagaimana kisah yang disampaikan Abdul Aziz bin Abi Rawad, seorang ahli ilmu, yang mengatakan bahwa generasi terbaik terdahulu sangat bersungguh-sungguh dalam berbuat kebaikan, namun setelahnya diliputi rasa khawatir apakah amal mereka diterima.
Bahkan Rasulullah SAW dan para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas'ud, menurut Ustadz Budi, juga merasakan kegundahan yang sama. Diriwayatkan bahwa di malam Idul Fitri, Rasulullah SAW pernah berseru di masjid, "Siapakah yang amalannya diterima di antara kita? Maka kita ucapkan selamat kepadanya. Dan siapa yang amalannya ditolak, maka kita ucapkan belasungkawa kepadanya."
Lebih lanjut, Ustadz Budi mengutip hadis lain yang menjelaskan bahwa orang yang takut amalnya tidak diterima justru termasuk orang yang berlomba dan tulus dalam berbuat kebaikan. Hal ini ditegaskan dalam riwayat At-Tirmidzi, dimana Aisyah Ra bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai tafsir ayat dalam Surah Al-Mukminun yang menyebutkan tentang orang yang takut amalnya tidak diterima.
Penjelasan ini menjadi pengingat dan pembanding bagi kita saat ini. Berbeda dengan para sahabat dan generasi terdahulu yang senantiasa khawatir dan mawas diri, sebagian umat muslim masa kini terkadang menganggap remeh hari-hari terakhir Ramadhan dan lebih fokus pada urusan duniawi.
"Itu adalah kalimat yang diucapkan oleh para sahabat menjelang Idul Fitri. Bandingkanlah generasi mereka dengan generasi kita saat ini; bahkan sebelum Ramadan berakhir, sudah terasa seakan berakhir. Pembicaraan kita telah bergeser. Kita telah sibuk dengan urusan dunia, padahal puncak Ramadan terjadi pada hari-hari ini (10 hari terakhir). Mari kita ukur iman kita masing-masing, karena hanya kita yang tahu siapa diri kita sebenarnya, dan tidak perlu menghakimi orang lain," terangnya.
Dia menekankan, setelah beramal orang yang tidak peduli ibadahnya diterima atau tidak, hal tersebut menunjukan bahwa orang yang seperti itu tidak peduli dengan kualitas amal di bulan Ramadhan. “Sahabat dan salafus shalih dengan jelas memasrahkan kepada Allah SWT dan seorang pun tidak ada yang tahu amalnya diterima atau tidak, tapi kegelisahan dan kegundahan tersebut menunjukan kepedulian tentang kualitas amal dan iman kita,” tandasnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta