Pengalaman lain yang ia angkat adalah dugaan politik uang di sebuah daerah. Saksi yang seharusnya memberi keterangan tak kunjung datang meski sudah dipanggil berkali-kali.
Maryamah dan tim memutuskan untuk mendatangi langsung saksi tersebut. Namun, perjalanan mereka diwarnai ketegangan ketika mobil mereka diikuti, dihentikan, dan diadang oleh empat orang sambil mengeluarkan kata-kata kasar dan membawa balok.
"Kami akhirnya memutuskan mundur, demi keselamatan. Tapi bukan berarti kami gentar," tegas Maryamah.
Tak berhenti di situ, Maryamah juga pernah menghadapi perbuatan tidak menyenangkan dari seorang oknum pasangan calon. Di depan banyak orang, ia dituding hanya mencari kesalahan.
Saat itu ia bisa saja mengungkap kejadian tersebut ke media, tapi memilih menahan diri. Bukan karena lemah, melainkan demi menjaga suasana pemilu agar tetap aman dan damai.
Lewat bukunya, Maryamah ingin berbagi pengalaman. Ia berharap kisah-kisah itu dapat menjadi pijakan lahirnya regulasi yang lebih berpihak pada perempuan, terutama di medan tugas yang penuh risiko seperti pengawasan pemilu.
"Kalau ada regulasi yang kurang mendukung perempuan selama ini, semoga ke depan bisa lebih baik. Tidak ada lagi kesenjangan gender," ucapnya.
Maryamah membuktikan bahwa keberanian tak mengenal jenis kelamin. Baginya, menjadi perempuan di garis depan pengawasan pemilu adalah soal tanggung jawab, keteguhan hati, dan keyakinan bahwa demokrasi yang sehat lahir dari mereka yang berani menjaga.
Editor : Gusti Yennosa
Artikel Terkait