"Tidak mungkin dia separatis, atau kelompok yang nanti malah membawa NKRI menuju kepada radikalisme dan sebagainya seharusnya karena sudah lolos seleksi semua di KPU. Sehingga posisi Presiden seharusnya sudah ya menunggu saja gitu, ya harus netral, bisa menjadi bapak bangsa begitu. Ini kalau di periode kedua," urai Eko Widiarto.
Oleh karena itu ia cenderung melihat lebih bijaksana bagi Presiden Jokowi seharusnya bisa netral, tidak kemudian memihak kepada salah satu. Yang pada intinya kata Eko, Presiden memberikan seluas-luasnya kesempatan, dan juga yang penting tidak menggunakan alat negara.
"Kalau sampai Presiden kampanye itukan persoalannya Presiden akan membuat instruksi akhirnya kepada alat negara untuk bergerak, baik itu yang TNI, baik itu yang Polri, baik itu yang Kementerian, baik itu yang lembaga non struktural, kalau Presiden menyampaikan kata-kata, berarti itukan sebuah instruksi bagi aparatur negara. Nah inilah yang menjadi problem, ini yang jadi problem dan tidak bisa meninggalkan. Seharusnya ini tidak terjadi," tuturnya.
Eko melihat apabila Jokowi memaksakan diri untuk tetap berpihak kepada salah satu pasangan calon dan melakukan kampanye maka akan timbul masalah serius dalam situasi kebangsaan.
"Minimal menurut saya, ya harus betul-betul memenuhi ketentuan UU tadi, tidak boleh Presiden menggunakan fasilitas negara, yang di Pasal 281 tadi itukan. Dan yang kedua kalau cuti bagaimana? Agak sulit Presiden cuti dalam kondisi seperti ini. Maka dari itu minimal tidak menggunakan fasilitas negara kalau mau," lanjutnya.
Akademisi Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur tersebut langkah dan sikap Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024 akan menjadi titik nadir dan dicatat oleh seluruh mata warga maupun dunia internasional.
"Seharusnya kalau sekarang jangan melakukan kampanye karena posisi Presiden sudah di akhir masa jabatan. Kampanye itu harusnya hanya untuk dirinya, bukan untuk yang lain, karena kalau untuk yang lain maka timbul problem keberpihakan dan nanti terjadi keterpecah belahan elemen-elemen bangsa," pungkasnya.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa seorang Kepala Negara boleh berkampanye ataupun memihak untuk memberikan dukungan politik.
Hal tersebut menanggapi perihal adanya menteri kabinet yang tidak ada hubungannya dengan politik tapi ikut serta menjadi tim sukses pasangan capres-cawapres.
"Ya ini kan hak demokrasi, hak politik setiap orang setiap menteri sama saja. Yang paling penting Presiden itu boleh loh itu kampanye, presiden itu boleh loh memihak, boleh," kata Jokowi saat memberikan keterangan kepada awak media di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024).
Jokowi mengatakan bahwa meskipun kepala negara ataupun menteri bukan pejabat politik, namun sebagai pejabat negara memiliki hak untuk berpolitik. "Boleh pak, kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik masa gini ga boleh, berpolitik gak boleh, boleh. Menteri juga boleh," kata Jokowi.
Jokowi menegaskan bahwa yang terpenting menteri ataupun kepala negara bisa berkampanye tanpa menggunakan fasilitas dari negera. "Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," kata Jokowi.
Menurut Jokowi, sudah aturan mengenai keikutsertaan menteri ataupun pejabat negara dalam berpolitik. "Itu saja yang mengatur itu hanya tidak boleh menggunakan fasilitas negara itu aja," pungkas Jokowi.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait