ACEH TAMIANG, iNewsBatam.id – Banjir bandang yang menerjang Aceh Tamiang tak hanya meninggalkan lumpur dan puing bangunan. Bencana tersebut juga menyisakan trauma mendalam, terutama bagi anak-anak yang kehilangan rasa aman di usia yang seharusnya dipenuhi tawa dan keceriaan.
Subuh di Desa Sungai Kuruk III, Kecamatan Seruway, berubah menjadi mimpi buruk. Air bah datang mendadak, menerobos rumah-rumah warga, menyeret perabot, dan memaksa keluarga berlarian menyelamatkan diri dalam gelap. Tangis anak-anak pecah bersamaan dengan derasnya arus, menciptakan kepanikan yang hingga kini masih membekas.
Aisyah (8) masih mengingat jelas malam itu. Di pos pengungsian, ia memeluk tas sekolahnya yang basah dan berlumur lumpur. “Saya takut hujan,” ucapnya lirih. Sejak banjir, setiap suara gemericik air membuatnya gelisah dan cemas.
Trauma inilah yang kini menjadi perhatian berbagai pihak. Di tengah kedatangan relawan, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Koordinator Wilayah Sumatera memilih mengambil peran lebih jauh. Mereka tidak hanya datang membawa kamera dan mikrofon, tetapi juga empati dan bantuan nyata.
Di bawah terik matahari dan sisa lumpur yang mulai mengering, para jurnalis yang biasa bekerja di balik layar kini memanggul dus bantuan, menyapa warga, dan duduk bersila bersama anak-anak di tenda pengungsian.
Ketua Korwil IJTI Sumatera, Gusti Yennosa, mengatakan kehadiran IJTI di Aceh Tamiang merupakan wujud jurnalisme kemanusiaan yang berpihak pada empati, bukan sekadar angka korban dan kerusakan.
“Kami biasanya datang membawa berita. Kali ini, kami datang membawa bantuan dan kepedulian. Apa yang dialami warga, terutama anak-anak, tidak cukup hanya dilaporkan. Mereka perlu disentuh, didengar, dan dikuatkan,” ujar Gusti Yennosa di sela penyaluran bantuan.
Bantuan yang disalurkan meliputi kebutuhan pokok, perlengkapan anak, serta logistik darurat. Namun lebih dari itu, kehadiran para jurnalis membawa pesan bahwa para korban tidak sendirian menghadapi dampak bencana.
Perempuan yang akrab disapa Oca ini menegaskan, anak-anak merupakan kelompok paling rentan pascabencana. Trauma yang tidak tertangani berisiko membekas hingga dewasa. Karena itu, IJTI mendorong agar trauma healing menjadi perhatian utama, seiring pemenuhan kebutuhan fisik.
“Anak-anak ini adalah masa depan Aceh Tamiang. Jangan biarkan ingatan tentang banjir menjadi luka panjang dalam hidup mereka. Pendampingan psikologis harus terus dilakukan,” tegasnya, Senin (22/12/2025).
Di tenda pengungsian, relawan bersama jurnalis mencoba mencairkan suasana. Anak-anak diajak bermain, menggambar, dan bernyanyi. Tawa kecil mulai terdengar, meski sesekali terhenti ketika awan mendung kembali menggantung di langit.
“Kalau hujan turun, anak-anak langsung panik. Mereka masih takut air datang lagi,” tutur Siti Rahma, salah seorang ibu korban banjir.
Editor : Gusti Yennosa
Artikel Terkait
