MEGAT Raden Kuning Megat Dialam bukan sekadar nama dalam catatan sejarah. Ia adalah tokoh besar pengubah wajah Kepulauan Riau, membuka negeri, menaklukkan penguasa laut, dan membawa peradaban ke Lingga.
========
Sejarah mencatat bahwa pembentukan Kampung Lingga Daik bermula dari kepemimpinannya. Berdasarkan Undang-Undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi, ayahnya, Megat Mata Merah, seorang penguasa besar Jambi, tidak pernah sampai ke Lingga. Sebaliknya, yang melakukan perjalanan jauh dari Tanah Pilih, Jambi, menuju Pulau Lingga adalah putranya sendiri, Megat Raden Kuning.
Kisah ini diceritakan oleh Lazuardi, seorang pemerhati sejarah dan budaya Kabupaten Lingga, yang mengungkapkan perjalanan hidup sang tokoh melalui buku sejarah miliknya kepada iNewsBatam.id, belum lama ini.
Sebelum memulai perjalanannya, Megat Raden Kuning telah diangkat sebagai Orang Kayo Singo Dirajo, gelar kebesaran bagi seorang pemimpin yang memiliki keberanian dan kebijaksanaan.
Pada tahun 701 Hijriah, ia berlayar dari Jambi menuju Lingga dengan perahu bernama Harimau Jantan, didampingi oleh Orang Pingai dan Orang Kayo Hitam.
Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan berbagai kelompok masyarakat seperti Orang Barok, Orang Mantang, dan Orang Laut. Karismanya yang kuat membuat mereka mengangkatnya sebagai pemimpin.
Sebelum menetap di Lingga, ia singgah di Pulau Singkep, menelusuri berbagai tempat strategis. Namun, hatinya tertambat pada hulu anak Sungai Daik, tempat yang ia percaya memiliki energi untuk menjadi pusat negeri yang besar.
Ia pun menamai sungai itu Sungai Lingga, sementara permukiman yang ia bangun diberi nama Kampung Datuk Kaya Lingga Daik.
Sebagai pemimpin visioner, Megat Raden Kuning memahami bahwa sebuah negeri tidak bisa berkembang tanpa penduduk yang ramai. Oleh karena itu, ia membawa serta Orang Bangka, yang menjadi generasi pertama komunitas Bangka di Lingga.
Sebagian dari mereka diberikan tempat di kawasan Sungai Tanda, yang berkembang menjadi Kampung Olak Sungai Dirajo Tando. Dari sinilah awal mula peradaban baru di Pulau Lingga dan Singkep, membentuk komunitas yang kuat dan mandiri.
Kisah perjalanan ini telah lama tercatat dalam Undang-Undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi, yang menjadi saksi atas jejak leluhur dalam membuka dan membangun negeri Melayu.
Namun, perjalanan Megat Raden Kuning tidak selalu mulus. Ada satu rintangan besar yang harus ia hadapi—Si Mak Yah, seorang penguasa Suku Laut yang terkenal sakti dan kejam.
Si Mak Yah bukan perempuan biasa. Ia adalah pemimpin yang ditakuti di seluruh perairan Lingga, memiliki ilmu kebatinan tinggi, dan seluruh rakyatnya tunduk kepadanya.
Namun, Megat Raden Kuning tidak gentar. Ia menantang Si Mak Yah dalam sebuah pertempuran sengit yang akan menentukan siapa yang layak menjadi penguasa sejati Pulau Lingga.
Menurut buku Mengenal dan Mengenang Kebesaran Kerajaan Lingga Riau (Tengku Husein Saleh dkk, 2007), pertarungan mereka begitu dahsyat hingga menyebabkan salah satu puncak Gunung Daik patah, menyisakan dua cabang yang masih terlihat hingga kini.
Si Mak Yah akhirnya kalah. Para pengikutnya pun bersumpah setia kepada Megat Raden Kuning, menandai berakhirnya era kekuasaan lama dan lahirnya sebuah negeri baru di bawah kepemimpinan sang Datuk Kaya.
Sebagai simbol kemenangan, setiap negeri yang ia taklukkan harus meletakkan sebutir lada ke dalam gantang. Seiring waktu, lada-lada itu memenuhi Istana Tujuh Bandung di Hulu Sungai Daik, menjadi lambang supremasi dan kebesaran Megat Raden Kuning.
Megat Raden Kuning bukan hanya seorang penakluk, tetapi juga seorang pemimpin bijaksana dan dihormati. Ia tidak hanya membangun negeri yang makmur, tetapi juga menyatukan berbagai suku dan kelompok masyarakat, menciptakan sistem pemerintahan yang kuat di Lingga.
Setelah wafat, jenazahnya dimakamkan di Bukit Nyiur, Hulu Sungai Lasi, di antara Kampung Sepincan dan Kampung Mading.
Konon, lokasi makamnya dahulu dikenal dengan Bukit Nyiur karena terdapat sebatang pohon nyiur yang besar.
Kini, tempat itu lebih dikenal sebagai Bukit Keramat, karena masyarakat mengkeramatkan makamnya sebagai pusaka sejarah Lingga.
Megat Raden Kuning tidak hanya meninggalkan jejak sejarah, tetapi juga warisan kepemimpinan yang tetap hidup dalam adat dan budaya masyarakat Lingga.
Sampai hari ini, kisahnya masih diceritakan sebagai sumber kebanggaan bagi masyarakat Melayu. Gunung Daik yang bercabang dua tetap menjadi simbol kejayaan, sementara Kampung Lingga Daik yang ia dirikan tetap berdiri sebagai bukti kehebatan kepemimpinan Melayu di Kepulauan Riau.
Sejarah boleh beranjak maju, tetapi nama Megat Raden Kuning akan selalu hidup dalam ingatan masyarakat Melayu sebagai sang penakluk lautan, pembuka negeri, dan pemimpin besar yang mengubah sejarah Lingga selamanya.
Editor : S. Widodo
Artikel Terkait